Kupercepat langkah kakiku menuju tempat perhentian di perbatasan Palestina dan Mesir. Tanah tandus nan kering itu kini benar-benar berdebu ketika puluhan orang yang bernasib sama sepertiku juga ikut berlari. Tepat di ujung pandangan kami semua, dua orang tentara yang terlihat menjaga pintu gerbang perbatasan melambai kepada kami untuk segera cepat memasuki tempat itu sebelum terlambat. Suara hantaman bom dan roket berderu begitu nyaring di belakang ku. Beberapa anak kecil yang dibawa juga tak kuasa menahan tangis mendengar semua kegaduhan itu.
Sekilas cahaya matahari mulai terlihat dari balik Gunung Kilud yang terkenal itu. Sinar lembut sang surya menyinari seluruh lahan di Desa Margamulya. Perlahan tapi pasti, aktifitas di desa tersebut mulai hidup seirama dengan semilir angin gunung yang menerpa seisi desa. Ini Hari Minggu, sudah waktunya anak-anak seusiaku – 13 tahun, untuk bermain keluar tanpa harus memikirkan tugas-tugas sekolah. Seperti biasa, aku yang biasanya bangun pagi-pagi harus membantu orang tua untuk memberi makan sapi yang kami miliki di ladang milik orang lain
Aku merasakan gelap yang tiada terkira. Aku gelisah ditengah kenikmatan mimpi indah yang tengah kualami. Tanpa sadar, aku mulai menggerakan kakiku akibat rasa gelisah ini. Disela-sela kegelisahan ini, hawa panas juga kunjung menghampiri. Akibat semua hal aneh ini, aku mulai membuka mata dan melihat segalanya. Hal yang tidak pernah kuimpikan sebelumnya.
Judul : The Most Wanted : Freedom
Genre : - *Cerpen ini pernah masuk 53 besar cerpen terbaik yang diadakan oleh kafekopi.blogspot.com dari 353 peserta Tidak ada yang pernah menyangka Aku dan Dinda harus menghabiskan puasa di tahun ini di suatu daerah terpencil. Daerah konflik yang belum tercium oleh pemerintah. Perang saudara seakan menjadi suatu tradisi yang sangat kental di daerah ini. Penduduk setempat menamai daerah ini dengan nama, Al Aqra. |
|