Kupercepat langkah kakiku menuju tempat perhentian di perbatasan Palestina dan Mesir. Tanah tandus nan kering itu kini benar-benar berdebu ketika puluhan orang yang bernasib sama sepertiku juga ikut berlari. Tepat di ujung pandangan kami semua, dua orang tentara yang terlihat menjaga pintu gerbang perbatasan melambai kepada kami untuk segera cepat memasuki tempat itu sebelum terlambat. Suara hantaman bom dan roket berderu begitu nyaring di belakang ku. Beberapa anak kecil yang dibawa juga tak kuasa menahan tangis mendengar semua kegaduhan itu.
***
Hari Sabtu pagi aku melintasi langit Indonesia yang masih diterpa sinar matahari dengan lembut. Pesawat yang aku tumpangi mengudara menembus kepulan awan yang menggantung menghiasi langit biru. Pesawat dengan nomor RN-275 sedang mengudara menuju tujuan utama ku, yaitu Palestina.
“Permisi Mas, ada permen gak?” lamunan ku segera buyar ketika perempuan yang duduk di sebelahku bertanya.
“Oh ada, sebentar ya.” sambil merogoh saku celana jins biru yang sedang aku pakai.
Sejak aku memberikan permen itu, terjadilah perbincangan ringan di pagi hari di langit Indonesia antara aku dan perempuan tersebut. Melihat dari rupa wajahnya, aku taksir umurnya tidak jauh berbeda dengan diriku. Perempuan itu ternyata juga berasal dari pulau yang sama dengan tempat tinggalku, namun berbeda wilayah. Ia transit dulu, baru pergi lagi menggunakan pesawat yang sama denganku. Setelah melalui percakapan yang panjang, perempuan itu memberi tahukan namanya.
“Nadin” senyumnya dilepaskan dari wajahnya yang manis itu. Kemudian tangannya terjulur.
“Rafi” aku membalas salaman tangannya, tak lupa juga aku menyunggingkan senyum.
Nadin ternyata juga punya tujuan tempat yang sama seperti diriku, yaitu ke Palestina. Bedanya, disana Ia akan meliput berita tentang persitiwa penting yang ada disana, karena pekerjaannya merupakan seorang jurnalis. Sedangkan aku hanya bertujuan untuk liburan selama satu pekan ini.
Matahari ternyata sudah menggantung lebih tinggi ketika aku menatap jendela pesawat lamat-lamat. 4 jam sudah aku melayang di dalam kerangka besi ini di udara. Aku sudah tidak tahu tepatnya aku berada –apakah masih jauh, atau semakin dekat? Percakapanku dengan Nadin sudah terhenti 2 jam yang lalu. Kini ia lebih sibuk dengan catatan kecil khas seorang jurnalis.
Sesekali, ia menatapku kembali dan dan bertanya dengan pertanyaaan acak. Baik itu bertanya tentang musik, makanan atau apapun itu.
“Umm mas, eh maaf, Rafi! Di sana emangnya mau nginap dimana?” dari pertanyaannya terlihat jelas bahwa ia masih kaku dengan panggilan yang aku sarankan.
“Mungkin di Gaza, di penginapan Budapest Chalet”
“Oooh penginapan itu, wah itu keren banget loh, Raf” matanya berbinar ketika menjawab.
“Emang kamu udah pernah ke sana?”
“Udah dong. Waktu itu ada tugas juga ke sana, dan kebetulan aku dibayari sama kantor untuk nginap di hotel itu. Pokoknya itu keren banget. Tapi ya gitu, sekarang ini kantor tempat aku bekerja sedang mengalami konflik internal, mereka lagi mengandalkan aku buat nyari berita di sana. Mereka bahkan ga kasih aku sepeser uang pun, jadi aku ga tau harus nginap dimana” wajahnya yang manis itu tertunduk lesu begitu ia habis menyampaikan kalimatnya.
“Wah kamu kok berani ya pergi tapi tanpa tujuan yang jelas gitu. Ya udah nanti kamu tinggal sama aku aja.”
“Yang bener, Raf? Wah terima kasih banyak ya”
Hanya berselang 30 menit setelah percakapan tersebut, pesawat yang aku tumpangi mendadak berguncang ketika mau mendarat. Semua penumpang tanpa terkecuali ikut cemas serta berteriak histeris. Namun, sang pilot mengatakan untuk tetap tenang, karena kondisi dapat dikendalikan. Benar saja, hanya berselang beberapa saat, guncangan hebat itu berhenti, pesawat mendarat mulus di landasan bandara Yasser Arafat.
Begitu turun dari pesawat bersama Nadin, keadaan di luar benar-benar berbeda terbalik saat berada di dalam pesawat. Cuaca saat itu panas sekali, mungkin kota Gaza saat itu tepat tengah hari. Sinar dan panas yang disampaikan ke bumi tidak sehangat dan selembut ketika aku melihat dari jendela pesawat.
Suasana kota Gaza terlihat ramai seperti di Indonesia, namun tidak ada kemacetan yang menghiasi lalu lintas. Ramai lancar, begitu kelihatannya.Sebuah taksi berhenti di depan kami dan menawarkan tumpangan. Kami mengiyakan dan pergi menuju Budapest Chalet.
20 menit melaju di dalam taksi, kami akhirnya sampai di depan penginapan Budapest Chalet yang amat mewah. Dindingnya yang terbuat dari batu marmer menjadi fokus utama penginapan ini. Sekilas jika kalian melihat dari luar, ini bukan penginapan, melainkan sebuah gua yang amat sangat mewah.
Aku baru selesai berbincang dengan resepsionis di hotel itu. Ia sangat ramah, dan bahasa Inggrisnya lebih fasih dan lancar ketimbang diriku. Sesekali Nadin juga bertanya, namun ia memakai bahasa Arab. Aku terkejut mendengar Nadin berbicara bahasa Arab dengan lancar.
Sang pegawai lain di hotel itu mengantarkan kami menuju kamar 213, tempat peristirahatan kami selama satu minggu ke depan.
“Raf, aku mau langsung pergi aja ya. Kayanya ini waktu yang pas buat meliput berita”
“Oke, hati-hati” aku menjawab.
Nadin berlalu begitu cepat meninggalkan kamar. Ia pergi hanya bermodalkan tas dan kamera. Untuk ukuran seorang wanita, ia adalah perwujudan wanita pekerja keras demi orang lain. Aku cukup terkesan dengannya di hari pertama aku bertemu dengan Nadin.
Hari semakin sore, kota Gaza yang panas dihantam sinar matahari sejak siang berganti dengan kenyamanan. Di sudut hotel ini, aku bisa menyaksikan matahari tergelincir. Momen yang sangat indah yang dapat ku nikmati di negeri orang.
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar mengingat hari semakin malam.
Aku baru saja melangkah masuk ke kamar dan meilhat Nadin yang berpakaian kotor namun tetap asik dengan kameranya. Ternyata setelah diselidiki, tadi siang Nadin mendapat sebuah berita ekslusif, dimana para warga kota Gaza turun ke jalan dan berdemo di depan kedubes Israel menuntut kebijakan Israel yang terus memperluas wilayahnya dan mempersempit wilayah Palestina. Demo itu juga diwarnai dengan perlawanan polisi setempat untuk membubarkan massa. Nadin yang berada di dekat sana sempat terjatuh dan terguling-guling di selimuti debu jalanan kota Gaza. Maka dari itu, bajunya kotor.
Hari semakin malam, Nadin masih sibuk dengan kamera dan tulisan-tulisan di catatannya. 30 menit kemudian, ia meregangkan badan dan menyelesaikan pekerjaannya itu. Ia bergegas masuk ke kamar mandi.
Aku menonton televisi malam itu, hampir semua salurannya berbahasa arab, aku yang tidak mengerti dengan bahasa Arab menggantinya ke sebuah saluran Internasional berbahasa Inggris. Baru saja aku menikmati sajian berita di televisi, suara Nadin terdengar dari depan pintu kamar mandi, “Raf, sepertinya aku besok ke sana lagi. Aku dengar mereka akan mengadakan demo di tempat yang sama sebelum jam 12. Ini kesempatan bagus buatku”
“Kamu yakin? Emangnya itu ga terlalu berbahaya?”
“Ngga, selama aku bisa diam-diam, mengendap dan bersembunyi” jawabnya tenang.
Jam di televisi menunjukan pukul 22.14 waktu Gaza. Nadin sudah tidur dari tadi di ranjang yang berbeda. Aku yang sudah kecapekan juga tidak bisa bertahan lebih lama, beberapa saat kemudian, aku terlelap.
***
Sinar matahari menembus kaca jendela kamarku. Hangat yang bersahabat menyelimuti diriku yang masih bergelung dengan selimut. Sekejap kemudian, aku membuka mata, lalu duduk di tepian kasur. Nadin sudah rapi kembali dengan kemeja kotak-kotak ungu dan celana jins. Ia sudah berkutat dengan kamera dan catatannya. Mungkin ini adalah hari yang begitu penting bagi dirinya. Sekejap kemudian, ia bangkit, lalu mengemaskan barang-barangnya dan berangkat pergi. Sebelum ia melangkah ke luar kamar, ia mengucapkan selamat tinggal dan menyuruhku untuk menjaga diri baik-baik.
Aku terheran-heran dengan perkataannya. Sebelum aku sempat menjawab, punggung Nadin hilang ditelan daun pintu yang tertutup, kemudian terdengar langkah kaki Nadin yang menjauhi kamar.
Hari ini sepertinya menjadi hari yang membosankan tanpa orang yang bisa kuajak berbicara. Aku memutuskan untuk segera bangkit dari tempat tidur dan kemudian berencana berkeliling satu hotel untuk menggunakan seluruh fasilitas yang ada.
Setelah berjam-jam menghabiskan waktu dengan seluruh fasilitas yang tersedia di Budapest Chalet, aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan mencoba memikirkan aktifitas seru lainnya. Selama perjalanan menuju kamar 213, aku sempat bertanya-tanya, bagaimana jika Nadin pergi ke sini tanpa sebuah penginapan dan tanpa sepeser uang? Kemudian, aktifitas apa saja yang bisa dilakukannya selama berada di Gaza yang bisa mengusir rasa bosannya?
Aku sampai di depan pintu kamar. Aku masukan kartu dan daun pintu yang terbuat dari kayu ini terbuka. Seketika lampu dan pendingin ruangan hidup menyambut kehadiranku. Tepat di ujung penghlihatanku, aku melihat tas besar milik Nadin yang tidak dibawa bersamanya hari ini. Muncul rasa penasaranku dengan barang bawaan seorang jurnalis. Kakiku segera bergerak menuju tas tersebut dan mulai melihat isinya satu per satu.
Kertas-ketas, buku dan catatan mendominasi isi tas itu. Tidak ada perlatan make up berlebihan seperti wanita pada umumnya. Ada tape recorder, mic yang berukuran kecil, pena, topi dan beberapa helai pakaian. Setelah puas melihat-lihat, aku sedikit bingung. Untuk seorang jurnalis seperti Nadin, kenapa tidak ada satu kartu yang menunjukan kalau dia seorang jurnalis, bahkan saat ia pergi ia tak mengenakan kartu pengenal apapun. Selain itu, aku juga baru menyadari, bahwa ia tidak membawa paspor atau visa atau kartu yang menyatakan bahwa ia orang Indonesia. Bahkan di dompet dan bagian-bagian tasnya yang lain aku tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu. Pagi ini dia tidak mungkin pergi dengan membawa paspor, tentu resiko kehilangan lebih besar apabila hanya ditinggalkan disini.
Setelah selesai mengacak seluruh isi tasnya. Aku mengemasinya kembali, kemudian beranjak berdiri menuju kasur. Aku menyalakan televisi, dan terpampang saluran televisi bekas tadi malam. Karena aku sedang tidak mood melihat tayangan saluran tersebut, aku menggantinya ke saluran televisi setempat yang menggunakan bahasa Arab. Terlihat di saluran tersebut, sebuah video kerusuhan ditampilkan. Awalnya aku kira ini peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, namun ternyata tidak. Ini adalah Breaking News , itu artinya baru saja terjadi beberapa jam yang lalu. Pikiranku sempat cemas. Apakah Nadin baik-baik saja?
Dari video itu, dapat kutangkap bahwa terjadi kerusuhan yang cukup menggemparkan. Tentara dan polisi turun ke jalan menghadang massa. Tank dan kendaraan bersenjata lainnya juga diturunkan. Sempat juga ada beberapa penembakan terhadap massa yang berbuat onar. Dan juga, dari video tersebut beberapa orang diamankan. Tunggu, itu wanita dengan kemeja kotak-kotak ungu dan celana jins sedang menolak dibawa petugas. Ia mengamuk, kameranya juga terjatuh begitu juga dengan catatan yang ada di tangannya. Apakah itu Nadin?
Aku cemas setengah mati, bagaimana kalau ia yang memang ditangkap dalam video tersebut? Aku mencoba menghilangkan pemikiran jelek ini dan mencoba untuk tidur, sembari menunggu kedatangan Nadin sore nanti. Aku merebahkan diri di kasur dan kaget begitu aku mendengar suara kertas dibawah badanku. Aku bangkit dan membaca isi kertas itu.
Halo Rafi! Sebelumnya aku mau terima kasih udah menjadi temanku selama dua hari di Gaza, terima kasih buat permen yang pernah kamu kasih, dan terima kasih untuk penginapannya yaa.. oh iya sebenarnya cepat atau lambat, kamu sendiri bakal tau kalau aku bukan seorang jurnalis atau seorang mahasiswi ataupun seorang pelancong yang mencari berita di negeri ini. Aku sebenarnya adalah mata-mata dari Kedubes Israel di Palestina. Aku ditugaskan untuk melihat semua aktfitas di Palestina yang menentang Israel. Aku juga mau beritahu kalau hari ini mungkin hari terakhir bersama kamu, Raf. Sorry ya ga bisa ganti uang mu. Jadi aku tinggalkan barang-barang milikku. Ambil saja semuanya, sebagai balasan dari ku. Daahhh, selamat tinggal, Rafi
Nadin
Kertas itu jatuh dari genggamanku. Aku bingung harus melakukan apa, apakah harus kaget, terharu, sedih atau mungkin gembira? Aku tidak menyangka selama ini Nadin ternyata adalah seorang mata-mata dari Israel. Bagaimana mungkin ia bisa merahasiakan hal itu kepadaku, dan bagaimana mungkin ia dengan mudahnya memberi informasi penting itu kepadaku?
Di saat diriku dicecar dengan berbagai pertanyaan yang ada di kepala. Hotel yang aku tempati bergetar hebat. Suara alarm kemudian berbunyi sebagai pertanda bahwa aku harus lekas keluar. Dengan mengemaskan barang seadanya –bersama barang Nadin, aku pergi keluar kamar dan berlari secepat mungkin menuju pintu depan.
Lagi, sebuah hantaman besar menuju tepat ke arah hotel. Aku amat merasakannya, getarannya beigtu dahsyat. Debu-debu berguguran. Aku sempat terhuyung-huyung ketika hantaman kedua itu. Pintu depan sudah tepat di ujung pandanganku. Aku bergegas mempercepat langkah kakiku menuju pintu utama.
Aku melihat pemandangan kota yang 360 derajat berbeda seperti pertama kali aku menginjakan kaki di tempat ini. Kota Gaza porak-poranda. Tiang-tiang berguguran, pohon-pohon tumbang, bangunan dan fasilitas umum lainnya hancur. Aku yang baru sampai di bahu jalan utama, langsung berbelok ke kanan, mengikuti orang-orang yang juga lari ke arah yang sama.
Berjam-jam dibombardir habis-habisan, kota Gaza lengang sejenak. Pasukan musuh mundur untuk sementara. Aku yang dari tadi berlari lurus ke arah selatan dan menyusuri tepi pantai, mendengus kelelahan. Diselimuti perasaan takut dan cemas, kami semua beristirahat sebentar di salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh.
Aku bersama puluhan orang lainnya melihat sejenak keadaan kota yang hancur lebur dalam sekejap. Semuanya menangis, dan berdoa kepada Tuhan. Begitu juga aku, berharap bisa pulang, dan berharap......Nadin selamat. Tepat saat itu, aku melihat ke salah satu sudut ruangan yang televisinya masih menyala. Berita itu menampilkan sebuah video dimana seorang tentara dan polisi Palestina hendak mengeksekusi seorang mata-mata wanita berbaju kemeja kotak-kotak ungu dan celana jins, yang aku perkirakan adalah Nadin. Disaat hendak melakukan eksekusi, datang dua tank dari arah belakang dan menembak seluruh pasukan yang ada di tempat itu. Keadaan langsung kacau, dan sempat tertangkap video ,dua pesawat jet meluncur di langit Palestina, yang aku anggap pesawat itulah yang memborbardir kota ini dengan hujan roket.
Baru saja berita itu selesai, beberapa orang lalu terlihat berdiri dan bergegas pergi dari tempat itu. Ada satu orang datang ke arah ku dan berbicara menggunakan bahasa arab, aku tidak terlalu mengerti bahasanya namun aku mengerti bahwa ia menyuruhku segera lekas pergi.
3 jam perjalanan tanpa tahu arah telah aku lalui mengikuti arah kemana mereka pergi. Namun sekitar beberapa ratus meter ke depan, terlihat sebuah pagar pembatas, dan ada bendera Mesir berkibar di sana. Sepertinya mereka menuju perbatasan demi menyelamatkan diri. Sialnya, sebelum sampai di tempat itu. Terdengar tembakan-tembakan di belakang kami, sepertinya mereka tidak ingin membiarkan satu orang pun selamat.
Kupercepat langkah kaki ku menuju tempat perhentian di perbatasan Palestina dan Mesir. Tanah tandus nan kering itu kini benar-benar berdebu ketika puluhan orang yang bernasib sama sepertiku juga ikut berlari. Tepat di ujung pandangan kami semua, dua orang tentara yang terlihat menjaga pintu gerbang perbatasan melambai kepada kami untuk segera cepat memasuki tempat itu sebelum terlambat. Suara hantaman bom dan roket berderu begitu nyaring di belakang ku. Beberapa anak kecil yang dibawa juga tak kuasa menahan tangis mendengar semua kegaduhan itu.
Sebuah roket dilepas dan meledak di depan ku. Aku mengelak dan terus berlari secepat yang aku bisa. Di sisa-sisa tenaga dan harapan yang aku punya aku melompat ke arah pintu gerbang yang telah dibuka para tentara yang berjaga di sana. Aku selamat tepat di detik terakhir sebelum sebuah roket mengenaiku.
Di sebuah tenda yang sekarang aku tempati, hanya terdapat beberapa fasilitas sederhana dan pengobatan seadanya. Orang-orang yang terluka di obati. Tepat di salah satu sudut ruangan, tergantung sebuah televisi yang menyiarkan berita tentang kejadian hari ini dengan bahasa inggris. Sejak saat itu, aku mengerti semua kejadiannya. Dan menyimpulkan bahwa Nadin, telah lama bekerja sebagai mata-mata semenjak ia tinggal di Indonesia. Sekarang aku tidak tahu keadaannya, yang pasti ia adalah musuh besar dunia.
Aku ingin berterima kasih kepada Nadin, karena sejak bertemu dengan dirinya. Aku mulai suka menulis sejak sehari tinggal di Gaza. Maka dari itu, semua pengalamanku di Gaza aku tulis dan sekarang menjadi salah satu sebuah aset berharga bagi badan intelijen yang ingin mengusut tuntas kasus ini.
Hari Sabtu pagi aku melintasi langit Indonesia yang masih diterpa sinar matahari dengan lembut. Pesawat yang aku tumpangi mengudara menembus kepulan awan yang menggantung menghiasi langit biru. Pesawat dengan nomor RN-275 sedang mengudara menuju tujuan utama ku, yaitu Palestina.
“Permisi Mas, ada permen gak?” lamunan ku segera buyar ketika perempuan yang duduk di sebelahku bertanya.
“Oh ada, sebentar ya.” sambil merogoh saku celana jins biru yang sedang aku pakai.
Sejak aku memberikan permen itu, terjadilah perbincangan ringan di pagi hari di langit Indonesia antara aku dan perempuan tersebut. Melihat dari rupa wajahnya, aku taksir umurnya tidak jauh berbeda dengan diriku. Perempuan itu ternyata juga berasal dari pulau yang sama dengan tempat tinggalku, namun berbeda wilayah. Ia transit dulu, baru pergi lagi menggunakan pesawat yang sama denganku. Setelah melalui percakapan yang panjang, perempuan itu memberi tahukan namanya.
“Nadin” senyumnya dilepaskan dari wajahnya yang manis itu. Kemudian tangannya terjulur.
“Rafi” aku membalas salaman tangannya, tak lupa juga aku menyunggingkan senyum.
Nadin ternyata juga punya tujuan tempat yang sama seperti diriku, yaitu ke Palestina. Bedanya, disana Ia akan meliput berita tentang persitiwa penting yang ada disana, karena pekerjaannya merupakan seorang jurnalis. Sedangkan aku hanya bertujuan untuk liburan selama satu pekan ini.
Matahari ternyata sudah menggantung lebih tinggi ketika aku menatap jendela pesawat lamat-lamat. 4 jam sudah aku melayang di dalam kerangka besi ini di udara. Aku sudah tidak tahu tepatnya aku berada –apakah masih jauh, atau semakin dekat? Percakapanku dengan Nadin sudah terhenti 2 jam yang lalu. Kini ia lebih sibuk dengan catatan kecil khas seorang jurnalis.
Sesekali, ia menatapku kembali dan dan bertanya dengan pertanyaaan acak. Baik itu bertanya tentang musik, makanan atau apapun itu.
“Umm mas, eh maaf, Rafi! Di sana emangnya mau nginap dimana?” dari pertanyaannya terlihat jelas bahwa ia masih kaku dengan panggilan yang aku sarankan.
“Mungkin di Gaza, di penginapan Budapest Chalet”
“Oooh penginapan itu, wah itu keren banget loh, Raf” matanya berbinar ketika menjawab.
“Emang kamu udah pernah ke sana?”
“Udah dong. Waktu itu ada tugas juga ke sana, dan kebetulan aku dibayari sama kantor untuk nginap di hotel itu. Pokoknya itu keren banget. Tapi ya gitu, sekarang ini kantor tempat aku bekerja sedang mengalami konflik internal, mereka lagi mengandalkan aku buat nyari berita di sana. Mereka bahkan ga kasih aku sepeser uang pun, jadi aku ga tau harus nginap dimana” wajahnya yang manis itu tertunduk lesu begitu ia habis menyampaikan kalimatnya.
“Wah kamu kok berani ya pergi tapi tanpa tujuan yang jelas gitu. Ya udah nanti kamu tinggal sama aku aja.”
“Yang bener, Raf? Wah terima kasih banyak ya”
Hanya berselang 30 menit setelah percakapan tersebut, pesawat yang aku tumpangi mendadak berguncang ketika mau mendarat. Semua penumpang tanpa terkecuali ikut cemas serta berteriak histeris. Namun, sang pilot mengatakan untuk tetap tenang, karena kondisi dapat dikendalikan. Benar saja, hanya berselang beberapa saat, guncangan hebat itu berhenti, pesawat mendarat mulus di landasan bandara Yasser Arafat.
Begitu turun dari pesawat bersama Nadin, keadaan di luar benar-benar berbeda terbalik saat berada di dalam pesawat. Cuaca saat itu panas sekali, mungkin kota Gaza saat itu tepat tengah hari. Sinar dan panas yang disampaikan ke bumi tidak sehangat dan selembut ketika aku melihat dari jendela pesawat.
Suasana kota Gaza terlihat ramai seperti di Indonesia, namun tidak ada kemacetan yang menghiasi lalu lintas. Ramai lancar, begitu kelihatannya.Sebuah taksi berhenti di depan kami dan menawarkan tumpangan. Kami mengiyakan dan pergi menuju Budapest Chalet.
20 menit melaju di dalam taksi, kami akhirnya sampai di depan penginapan Budapest Chalet yang amat mewah. Dindingnya yang terbuat dari batu marmer menjadi fokus utama penginapan ini. Sekilas jika kalian melihat dari luar, ini bukan penginapan, melainkan sebuah gua yang amat sangat mewah.
Aku baru selesai berbincang dengan resepsionis di hotel itu. Ia sangat ramah, dan bahasa Inggrisnya lebih fasih dan lancar ketimbang diriku. Sesekali Nadin juga bertanya, namun ia memakai bahasa Arab. Aku terkejut mendengar Nadin berbicara bahasa Arab dengan lancar.
Sang pegawai lain di hotel itu mengantarkan kami menuju kamar 213, tempat peristirahatan kami selama satu minggu ke depan.
“Raf, aku mau langsung pergi aja ya. Kayanya ini waktu yang pas buat meliput berita”
“Oke, hati-hati” aku menjawab.
Nadin berlalu begitu cepat meninggalkan kamar. Ia pergi hanya bermodalkan tas dan kamera. Untuk ukuran seorang wanita, ia adalah perwujudan wanita pekerja keras demi orang lain. Aku cukup terkesan dengannya di hari pertama aku bertemu dengan Nadin.
Hari semakin sore, kota Gaza yang panas dihantam sinar matahari sejak siang berganti dengan kenyamanan. Di sudut hotel ini, aku bisa menyaksikan matahari tergelincir. Momen yang sangat indah yang dapat ku nikmati di negeri orang.
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar mengingat hari semakin malam.
Aku baru saja melangkah masuk ke kamar dan meilhat Nadin yang berpakaian kotor namun tetap asik dengan kameranya. Ternyata setelah diselidiki, tadi siang Nadin mendapat sebuah berita ekslusif, dimana para warga kota Gaza turun ke jalan dan berdemo di depan kedubes Israel menuntut kebijakan Israel yang terus memperluas wilayahnya dan mempersempit wilayah Palestina. Demo itu juga diwarnai dengan perlawanan polisi setempat untuk membubarkan massa. Nadin yang berada di dekat sana sempat terjatuh dan terguling-guling di selimuti debu jalanan kota Gaza. Maka dari itu, bajunya kotor.
Hari semakin malam, Nadin masih sibuk dengan kamera dan tulisan-tulisan di catatannya. 30 menit kemudian, ia meregangkan badan dan menyelesaikan pekerjaannya itu. Ia bergegas masuk ke kamar mandi.
Aku menonton televisi malam itu, hampir semua salurannya berbahasa arab, aku yang tidak mengerti dengan bahasa Arab menggantinya ke sebuah saluran Internasional berbahasa Inggris. Baru saja aku menikmati sajian berita di televisi, suara Nadin terdengar dari depan pintu kamar mandi, “Raf, sepertinya aku besok ke sana lagi. Aku dengar mereka akan mengadakan demo di tempat yang sama sebelum jam 12. Ini kesempatan bagus buatku”
“Kamu yakin? Emangnya itu ga terlalu berbahaya?”
“Ngga, selama aku bisa diam-diam, mengendap dan bersembunyi” jawabnya tenang.
Jam di televisi menunjukan pukul 22.14 waktu Gaza. Nadin sudah tidur dari tadi di ranjang yang berbeda. Aku yang sudah kecapekan juga tidak bisa bertahan lebih lama, beberapa saat kemudian, aku terlelap.
***
Sinar matahari menembus kaca jendela kamarku. Hangat yang bersahabat menyelimuti diriku yang masih bergelung dengan selimut. Sekejap kemudian, aku membuka mata, lalu duduk di tepian kasur. Nadin sudah rapi kembali dengan kemeja kotak-kotak ungu dan celana jins. Ia sudah berkutat dengan kamera dan catatannya. Mungkin ini adalah hari yang begitu penting bagi dirinya. Sekejap kemudian, ia bangkit, lalu mengemaskan barang-barangnya dan berangkat pergi. Sebelum ia melangkah ke luar kamar, ia mengucapkan selamat tinggal dan menyuruhku untuk menjaga diri baik-baik.
Aku terheran-heran dengan perkataannya. Sebelum aku sempat menjawab, punggung Nadin hilang ditelan daun pintu yang tertutup, kemudian terdengar langkah kaki Nadin yang menjauhi kamar.
Hari ini sepertinya menjadi hari yang membosankan tanpa orang yang bisa kuajak berbicara. Aku memutuskan untuk segera bangkit dari tempat tidur dan kemudian berencana berkeliling satu hotel untuk menggunakan seluruh fasilitas yang ada.
Setelah berjam-jam menghabiskan waktu dengan seluruh fasilitas yang tersedia di Budapest Chalet, aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan mencoba memikirkan aktifitas seru lainnya. Selama perjalanan menuju kamar 213, aku sempat bertanya-tanya, bagaimana jika Nadin pergi ke sini tanpa sebuah penginapan dan tanpa sepeser uang? Kemudian, aktifitas apa saja yang bisa dilakukannya selama berada di Gaza yang bisa mengusir rasa bosannya?
Aku sampai di depan pintu kamar. Aku masukan kartu dan daun pintu yang terbuat dari kayu ini terbuka. Seketika lampu dan pendingin ruangan hidup menyambut kehadiranku. Tepat di ujung penghlihatanku, aku melihat tas besar milik Nadin yang tidak dibawa bersamanya hari ini. Muncul rasa penasaranku dengan barang bawaan seorang jurnalis. Kakiku segera bergerak menuju tas tersebut dan mulai melihat isinya satu per satu.
Kertas-ketas, buku dan catatan mendominasi isi tas itu. Tidak ada perlatan make up berlebihan seperti wanita pada umumnya. Ada tape recorder, mic yang berukuran kecil, pena, topi dan beberapa helai pakaian. Setelah puas melihat-lihat, aku sedikit bingung. Untuk seorang jurnalis seperti Nadin, kenapa tidak ada satu kartu yang menunjukan kalau dia seorang jurnalis, bahkan saat ia pergi ia tak mengenakan kartu pengenal apapun. Selain itu, aku juga baru menyadari, bahwa ia tidak membawa paspor atau visa atau kartu yang menyatakan bahwa ia orang Indonesia. Bahkan di dompet dan bagian-bagian tasnya yang lain aku tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu. Pagi ini dia tidak mungkin pergi dengan membawa paspor, tentu resiko kehilangan lebih besar apabila hanya ditinggalkan disini.
Setelah selesai mengacak seluruh isi tasnya. Aku mengemasinya kembali, kemudian beranjak berdiri menuju kasur. Aku menyalakan televisi, dan terpampang saluran televisi bekas tadi malam. Karena aku sedang tidak mood melihat tayangan saluran tersebut, aku menggantinya ke saluran televisi setempat yang menggunakan bahasa Arab. Terlihat di saluran tersebut, sebuah video kerusuhan ditampilkan. Awalnya aku kira ini peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, namun ternyata tidak. Ini adalah Breaking News , itu artinya baru saja terjadi beberapa jam yang lalu. Pikiranku sempat cemas. Apakah Nadin baik-baik saja?
Dari video itu, dapat kutangkap bahwa terjadi kerusuhan yang cukup menggemparkan. Tentara dan polisi turun ke jalan menghadang massa. Tank dan kendaraan bersenjata lainnya juga diturunkan. Sempat juga ada beberapa penembakan terhadap massa yang berbuat onar. Dan juga, dari video tersebut beberapa orang diamankan. Tunggu, itu wanita dengan kemeja kotak-kotak ungu dan celana jins sedang menolak dibawa petugas. Ia mengamuk, kameranya juga terjatuh begitu juga dengan catatan yang ada di tangannya. Apakah itu Nadin?
Aku cemas setengah mati, bagaimana kalau ia yang memang ditangkap dalam video tersebut? Aku mencoba menghilangkan pemikiran jelek ini dan mencoba untuk tidur, sembari menunggu kedatangan Nadin sore nanti. Aku merebahkan diri di kasur dan kaget begitu aku mendengar suara kertas dibawah badanku. Aku bangkit dan membaca isi kertas itu.
Halo Rafi! Sebelumnya aku mau terima kasih udah menjadi temanku selama dua hari di Gaza, terima kasih buat permen yang pernah kamu kasih, dan terima kasih untuk penginapannya yaa.. oh iya sebenarnya cepat atau lambat, kamu sendiri bakal tau kalau aku bukan seorang jurnalis atau seorang mahasiswi ataupun seorang pelancong yang mencari berita di negeri ini. Aku sebenarnya adalah mata-mata dari Kedubes Israel di Palestina. Aku ditugaskan untuk melihat semua aktfitas di Palestina yang menentang Israel. Aku juga mau beritahu kalau hari ini mungkin hari terakhir bersama kamu, Raf. Sorry ya ga bisa ganti uang mu. Jadi aku tinggalkan barang-barang milikku. Ambil saja semuanya, sebagai balasan dari ku. Daahhh, selamat tinggal, Rafi
Nadin
Kertas itu jatuh dari genggamanku. Aku bingung harus melakukan apa, apakah harus kaget, terharu, sedih atau mungkin gembira? Aku tidak menyangka selama ini Nadin ternyata adalah seorang mata-mata dari Israel. Bagaimana mungkin ia bisa merahasiakan hal itu kepadaku, dan bagaimana mungkin ia dengan mudahnya memberi informasi penting itu kepadaku?
Di saat diriku dicecar dengan berbagai pertanyaan yang ada di kepala. Hotel yang aku tempati bergetar hebat. Suara alarm kemudian berbunyi sebagai pertanda bahwa aku harus lekas keluar. Dengan mengemaskan barang seadanya –bersama barang Nadin, aku pergi keluar kamar dan berlari secepat mungkin menuju pintu depan.
Lagi, sebuah hantaman besar menuju tepat ke arah hotel. Aku amat merasakannya, getarannya beigtu dahsyat. Debu-debu berguguran. Aku sempat terhuyung-huyung ketika hantaman kedua itu. Pintu depan sudah tepat di ujung pandanganku. Aku bergegas mempercepat langkah kakiku menuju pintu utama.
Aku melihat pemandangan kota yang 360 derajat berbeda seperti pertama kali aku menginjakan kaki di tempat ini. Kota Gaza porak-poranda. Tiang-tiang berguguran, pohon-pohon tumbang, bangunan dan fasilitas umum lainnya hancur. Aku yang baru sampai di bahu jalan utama, langsung berbelok ke kanan, mengikuti orang-orang yang juga lari ke arah yang sama.
Berjam-jam dibombardir habis-habisan, kota Gaza lengang sejenak. Pasukan musuh mundur untuk sementara. Aku yang dari tadi berlari lurus ke arah selatan dan menyusuri tepi pantai, mendengus kelelahan. Diselimuti perasaan takut dan cemas, kami semua beristirahat sebentar di salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh.
Aku bersama puluhan orang lainnya melihat sejenak keadaan kota yang hancur lebur dalam sekejap. Semuanya menangis, dan berdoa kepada Tuhan. Begitu juga aku, berharap bisa pulang, dan berharap......Nadin selamat. Tepat saat itu, aku melihat ke salah satu sudut ruangan yang televisinya masih menyala. Berita itu menampilkan sebuah video dimana seorang tentara dan polisi Palestina hendak mengeksekusi seorang mata-mata wanita berbaju kemeja kotak-kotak ungu dan celana jins, yang aku perkirakan adalah Nadin. Disaat hendak melakukan eksekusi, datang dua tank dari arah belakang dan menembak seluruh pasukan yang ada di tempat itu. Keadaan langsung kacau, dan sempat tertangkap video ,dua pesawat jet meluncur di langit Palestina, yang aku anggap pesawat itulah yang memborbardir kota ini dengan hujan roket.
Baru saja berita itu selesai, beberapa orang lalu terlihat berdiri dan bergegas pergi dari tempat itu. Ada satu orang datang ke arah ku dan berbicara menggunakan bahasa arab, aku tidak terlalu mengerti bahasanya namun aku mengerti bahwa ia menyuruhku segera lekas pergi.
3 jam perjalanan tanpa tahu arah telah aku lalui mengikuti arah kemana mereka pergi. Namun sekitar beberapa ratus meter ke depan, terlihat sebuah pagar pembatas, dan ada bendera Mesir berkibar di sana. Sepertinya mereka menuju perbatasan demi menyelamatkan diri. Sialnya, sebelum sampai di tempat itu. Terdengar tembakan-tembakan di belakang kami, sepertinya mereka tidak ingin membiarkan satu orang pun selamat.
Kupercepat langkah kaki ku menuju tempat perhentian di perbatasan Palestina dan Mesir. Tanah tandus nan kering itu kini benar-benar berdebu ketika puluhan orang yang bernasib sama sepertiku juga ikut berlari. Tepat di ujung pandangan kami semua, dua orang tentara yang terlihat menjaga pintu gerbang perbatasan melambai kepada kami untuk segera cepat memasuki tempat itu sebelum terlambat. Suara hantaman bom dan roket berderu begitu nyaring di belakang ku. Beberapa anak kecil yang dibawa juga tak kuasa menahan tangis mendengar semua kegaduhan itu.
Sebuah roket dilepas dan meledak di depan ku. Aku mengelak dan terus berlari secepat yang aku bisa. Di sisa-sisa tenaga dan harapan yang aku punya aku melompat ke arah pintu gerbang yang telah dibuka para tentara yang berjaga di sana. Aku selamat tepat di detik terakhir sebelum sebuah roket mengenaiku.
Di sebuah tenda yang sekarang aku tempati, hanya terdapat beberapa fasilitas sederhana dan pengobatan seadanya. Orang-orang yang terluka di obati. Tepat di salah satu sudut ruangan, tergantung sebuah televisi yang menyiarkan berita tentang kejadian hari ini dengan bahasa inggris. Sejak saat itu, aku mengerti semua kejadiannya. Dan menyimpulkan bahwa Nadin, telah lama bekerja sebagai mata-mata semenjak ia tinggal di Indonesia. Sekarang aku tidak tahu keadaannya, yang pasti ia adalah musuh besar dunia.
Aku ingin berterima kasih kepada Nadin, karena sejak bertemu dengan dirinya. Aku mulai suka menulis sejak sehari tinggal di Gaza. Maka dari itu, semua pengalamanku di Gaza aku tulis dan sekarang menjadi salah satu sebuah aset berharga bagi badan intelijen yang ingin mengusut tuntas kasus ini.