Sekilas cahaya matahari mulai terlihat dari balik Gunung Kilud yang terkenal itu. Sinar lembut sang surya menyinari seluruh lahan di Desa Margamulya. Perlahan tapi pasti, aktifitas di desa tersebut mulai hidup seirama dengan semilir angin gunung yang menerpa seisi desa. Ini Hari Minggu, sudah waktunya anak-anak seusiaku – 13 tahun, untuk bermain keluar tanpa harus memikirkan tugas-tugas sekolah. Seperti biasa, aku yang biasanya bangun pagi-pagi harus membantu orang tua untuk memberi makan sapi yang kami miliki di ladang milik orang lain
“Bu, aku sudah selesai beri makan sapinya. Aku pergi main keluar dulu ya, Bu.” Aku berteriak kencang sekali. Hingga ibuku yang hanya berjarak beberapa meter, tersentak kaget.
“Kamu ini, gimana, kasih tahu itu ya pelan-pelan aja.Ibu kaget jadinya.” Terlihat muka ibu sedikit cemberut.
“Hehe, iya, maaf, Bu.” Aku nyengir saja.
“Ya sudah sana main. Pulangnya jangan terlalu siang, nanti telat makan siangnya.”
“Beres, Bu.”
Aku berlari menuruni padang rumput yang sedikit berbukit itu. Gerakan ku cukup lincah melewati jalan setapak yang berliku, meloncat diatas bebatuan besar, kemudian berlari sekencang-kencangnya mengambil sepeda yang ku parkir di pohon berbatang besar tersebut.
Aku kayuh sepedaku melaju di jalan desa yang mayoritas masih berupa tanah. Melewati perumahan warga, kandang ternak dan petak-petak sawah.
Aku sampai di lapangan yang biasanya dipakai anak seusiaku bermain. Tidak ada siapa-siapa disana. Hanya hembusan angin yang menerpa debu lapangan. Aku bahkan datang terlalu awal setengah jam dari jadwal yang seharusnya.
Aku memilih menunggu dan duduk di seberang lapangan, berharap akan segera ada teman-teman yang datang. Aku biarkan sepedaku berdiri pada sebuah standar, sementara aku memilih untuk duduk beralaskan tanah kering berpasir.
Sembari menunggu teman-temanku datang. Aku mencoret permukaan tanah dengan jemariku. Terlihat tidak jelas apa yang aku gambar, terlihat abstrak, namun tak memiliki arti.
20 Menit berlalu, belum ada satupun yang datang. Aku kecewa sekaligus heran, apakah mereka masih tidur atau aku yang salah jadwal. Padahal, untuk anak-anak di desa ini, bangun kesiangan adalah sesuatu yang patut dihindari. Dan yang terpenting, aku tidak mungkin salah jadwal, ini Hari Minggu. Sudah pasti anak-anak desa berkumpul di lapangan ini untuk bermain bola. Tapi hingga sekarang, hanya debu dan angin yang senantiasa menemaniku sedari pagi tadi.
Aku putuskan untuk beranjak dari tempat itu dan pergi ke rumah teman-temanku yang letaknya memang sedikit berjauhan.
Rumah yang aku datangi pertama kali adalah rumah teman sebangku di SMP. Roni namanya.
“Ronii. Main bola yuk.” Aku memanggil dari depan rumahnya.
Kemudian muncul sosok wanita yang merupakan ibunya Roni.
“Oh ternyata Dimas. Eh, anu, Roninya lagi gak bisa main. Dia lagi bantu angkat air dulu untuk mencuci.Jadi, kayaknya Roni gak bisa main pagi ini.” Ibunya menyunggingkan senyum kecil kepadaku.
“Oh ya udah, Tante. Gak apa, mungkin nanti sore aja. Maaf mengganggu.”
“Iya, Dimas. Nanti sore aja, ya.”
Aku meraih sepedaku, lantas mengengkolnya pergi menjauh dari rumah Roni.
Sepanjang perjalanan, aku sedikit heran. Tidak biasanya Roni masih bantu-bantu sampai sesiang ini. Apa mungkin karna dia bangun siang? Tapi sepertinya tidak mungkin. Dia adalah salah satu anak paling rajin di desa ini. Semua warga desa juga tahu hal itu.
Engkolan sepedaku kemudian terhenti begitu aku sampai di halaman depan rumah Eki yang dipenuhi kandang sapi. Biarpun aku sudah terbiasa dengan sapi. Tapi tetap saja, kalau sudah masuk ke lingkungan yang dipenuhi sapi, apalagi dikelilingi kandang sapi seperti ini, aku tidak tahan menciumnya.
“Eki.. Main bola yuk.” Aku memanggil kencang dari luar rumahnya.
Lagi-lagi, yang keluar bukanlah sosok Eki. Melainkan bapaknya yang rambutnya seudah mulai memutih. Serta kumis dan jenggotnya yang tumbuh panjang tak terurus.
“Oh, kamu Dimas. Eki lagi gak bisa main pagi ini. Dia mesti bantu bapak angkat air buat keperluan hari ini. Soalnya air ledeng yang dari pegunungan ga jalan. Jadi Eki harus mengambil air dari sumur yang ada di hutan.” suaranya terdengar sangat memprihatinkan. Terlihat sekali bahwa bapaknya Eki sudah sangat renta.
“Oh gitu ya, Pak. Yaudah, gak apa. Nanti sore aja.” Aku memberi senyum di bibir kemudian berputar balik.
Begitu aku hendak berangkat menuju rumah temanku yang lain. Aku menyadari bahwa bapak Eki bilang kalau air ledeng yang dari pegunungan mati. Aku kemudian balik lagi ke depan rumah Eki, kemudian bertanya,
“Maaf, Pak. Air ledeng di rumah bapak mati? Bukannya air ledeng dari pegunungan tidak pernah mati?” Aku bertanya menyelidiki.
“Iya gak tau nih nak Dimas. Dari tadi pagi air ledeng mati. Bapak mau apa-apa jadi susah. Makanya bapak suruh Eki pergi ambil air di sumur.”
Sumur yang dimaksud adalah sumur satu-satunya yang dimiliki warga desa. Warga tidak mau bersusah payah membuat sumur, lagipula air selalu mengalir setiap harinya dari gunung.
Aku lantas berpamitan dan mengayuh sepedaku cepat-cepat kembali ke rumah. Aku khawatir ibu sedang kesusahan menangangkut air dari sungai ke rumah. Rumah dan sumur terletak cukup berjauhan. Aku tidak tega memikirkan apalagi melihat ibu harus mengangkut air dengan jarak yang cukup jauh.
Begitu sampai di depan rumah, aku memakirkan sepeda dengan tergesa-gesa. Berlari menuju dapur dengan gesit. Disana, ibu tengah duduk di hadapan tungku yang menyala.
“Bu, air ledeng di rumah kita mati ya?” aku bertanya dengan perasaan cemas.
“Iya, nak. Daritadi pagi airnya udah mati. Ibu aja baru tau waktu pulang dari ladang. Tetangga pada bilang kalau air ledeng mati, jadi perlu mengambil air di sumur yang ada di tepi hutan itu.”
“Kok bisa ya, Bu? Bukannya air ledeng tidak pernah mati di desa kita?”
“Ya ibu ngga tahu, nak. Mungkin salurannya terhambat atau ada orang yang sengaja merusak saluran air demi kepentingan dirinya sendiri.”
Ibu diam sejenak, sambil mengaduk sup wortel yang tengah dipanaskan.
“Dimas, kamu tolong ibu ya angkut air juga dari sumur itu. Ambil secukupnya aja, soalnya air untuk minum masih banyak. Jadi perlu dua atau tiga ember itu untuk mencuci. Ibu hari malas pergi ke sungai.” Tangan Ibu sambil menunjuk ember bekas cat yang cukup besar yang bersandar di dinding.
“Yowes, Bu.”
Aku bergegas mengambil ember tersebut lalu pergi ke lokasi sumur yang dimaksud.
Aku berjalan melewati tanah yang berbukit dan berkelok-kelok. Kadang-kadang turun, kadang kala naik. Kalau hujan, tanah yang aku pijak semakin berbahaya dan licin. Aku tidak sanggup membayangkan Ibu harus berjalan melewati medan ini.
Ketika aku sampai di sungai, aku kaget melihat teman-temanku sudah disana. Eki dan Roni ternyata juga disana. Mereka kelihatannya ramai sekali. Dan tidak terlihat seperti orang yang bahu-membahu mengambil air di sungai. Mereka terlibat adu mulut yang tidak semestinya.
“Woi, gantian dong! Masa dari tadi kalian terus. Kan kita udah buat kesepakatan, ngambil airnya gantian.” Tono menggeram.
“Gak bisa lah. Lagian ini kan semua salah kalian.” Cecep balas menimpal perkataan Tono.
Aku heran dan bertanya-tanya. Aku memacu kakiku berlari secepat mungkin untuk mengetahui apa yang terjadi.
Disana terdapat dua kelompok anak yang sepertinya berbeda pikiran. Kelompok satu ada Tono, Roni, Eki dan Surya. Dan kelompok satunya lagi ada Cecep, Rio, Agus dan Udin. Walaupun satu diantara mereka bukan teman dekat, tapi mereka adalah teman-temanku yang sering bermain bersama. Bahkan tidak jarang kami tertawa bersama setiap kali kami bermain bola. Artinya jika ada pertentangan seperti ini, berarti ada masalah besar yang sedang mereka hadapi.
Aku berlari sekencang-kencangnya dan berhenti tepat diantara Tono dan Cecep yang sedang beradu mulut. “Ada apa ini?” tanganku terjulur memisahkan keduanya dari tatapan yang terlalu dekat dan menantang.
“Ini lho Dimas. Kita kan dari tadi sampai disini, jadi kami yang pertama dong menguasai tempat ini. Pas mereka datang, mereka juga mau ambil air. Kita sih setuju aja, asalkan gantian. Tapi sekarang, mereka sepertinya ingkar janji.” Tono menjelaskan kepadaku sedetil-detilnya.
“Wah, ngga bisa gitu dong. Kami kan datang terakhir, otomatis air yang kami dapat dikit dong. Makanya kami ambil agak banyak, biar sama kayak kalian.” Cecep menimpali.
“Oke, Stop.” Aku mulai berbicara serius. “Seharusnya kita gak seperti ini. Kita ini temenan. Main sama-sama, sekolah sama-sama. Masa gara-gara hal ini kita bertengkar?”
Yang lain hanya diam memandangiku dan ember yang aku bawa.
“Sumur ini kan cuman satu. Kalau kalian perebutkan dengan cara seperti ini, tidak ada gunanya. Lebih baik kita pergi ke atas gunung, mencari saluran air yang bermasalah dan memperbaikinya bersama-sama.” Tatapanku tepat mengarah ke Tono yang berada di samping kananku, kemudian menatap Cecep yang berada di sebelah kiri.
“Ide bagus tuh, Mas. Kayanya kita gak perlu berdebat seperti ini.” Roni menyahut diantara hening yang kami buat.
Tono dan Cecep kemudian aku suruh bermaafan. Masalah air, kelompok Cecep aku biarkan mengambil air sebanyak jumlah air yang sudah didapatkan anak-anak di kelompok Tono. Setelah itu baru aku yang mengambil air, dan mulai mengisi ke ember cat yang aku bawa dari rumah. Hasilnya tidak banyak, karena lumpur didasar sumur sudah mulai menyatu dengan air. Sehinnga aku tidak bisa mengambil hingga ke dasarnya.
“Setelah ini, kita pulang membawa air masing-masing ke rumah. Lalu kita berkumpul lagi disini membahas tentang memperbaiki saluran air. Jangan lupa untuk membawa barang-barang sisa yang bisa dimanfaatkan dalam memperbaiki saluran air diatas sana.” Tanganku menunjuk ke arah lereng gunung yang cukup curam.
Aku pulang kembali dengan hanya membawa setengah ember. Sebenarnya aku ingin kembali ke sumur dan menambah air, tapi mengingat kondisi air yang sudah kotor, aku mengurungkan niatku tersebut.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Wa’alaikum salam.”
“Ini Bu airnya. Aku masukin ke bak ya. Oh iya, air di sumur kotor, jadi aku ambil segini aja..” Aku berbicara sambil berjalan menuju dapur dan kemudian meletakan ember tersebut.
“Iya, simpan aja disitu. Ibu lagi masak buat makan siang.”
“Sudah, Bu. Bu, aku ambil barang-barang bekas yang ini ya, aku lagi ada proyek sama teman-teman.” Aku mengambil beberapa pipa, perekat, kapak dan gergaji. Aku bingung barang apa yang harus diambil. Barang-barang tersebut aku ambil hanya berdasarkan tuntunan hati.
“Aku pergi dulu, Bu.”
Aku berlari secepat mungkin sampai tidak sempat membalas pertanyaan Ibu untuk apa semua perlengkapan itu.
Aku melesat cepat bagaikan kijang, di daerah itu lagi. Tanah berbukit dengan tekstur tanah yang sedikit basah dan ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan menjalar, serta batu besar dan kecil yang menghalangi jalan. Aku menghindar dan berlari secepat mungkin. Sambil menggendong barang-barang di tas.
Sesampainya aku di tempat itu lagi – di sumur. Disana sudah ada beberapa anak dengan perlengkapan mereka masing-masing.
Aku yang mengusulkan ide tersebut berjalan paling depan. Menentukan arah dan membicarakan segala kemungkinan yang terjadi. Ntah karena nada suaraku yang tidak menarik atau memang karena pertengkaran mereka di sumur tadi belum selesai. Mereka terlihat memisahkan diri, dan tidak mau berjalan bersama-sama. Bahkan satu diantara mereka tidak bicara sama sekali.
Kami sampai di ujung saluran air utama dari atas gunung. Memang saluran tersebut tidak mengeluarkan air, bahkan setetes pun tidak.
Kami mendaki sedikit ke atas, kemudian mendongak ke atas lagi. Mengetahui medan yang semakin berat dan tak mungkin dilalui dengan berjalan kaki, aku memutuskan agar kami berjalan memakai tali yang diikat ke badan masing-masing.
“Saatnya kita pergi ke atas. Kita gunakan tali yang dibawa Cecep.” Tatapanku mengarah ke Cecep yang saat itu sedang membawa tali.
“Dimas, kan cuma aku yang bawa tali. Masa mereka harus pakai taliku juga. Ga boleh.” Cecep masih geram dengan pertengkaran tadi.
“Waahh, kamu. Eh, kita udah maafan lho! Lagian kalian juga ngambil air sebanyak yang tadi kami bawa, kan. Yasudah, gak masalah lah kami pinjam talimu.” Eki menggeram akibat perkataan Cecep barusan.
Seketika, dua kelompok anak tadi bertengkar lagi. Tidak sampai terjadi adu jotos. Hanya sebatas adu mulut dengan argumen-argumen mereka yang payah. Tapi hal ini tentu sangat menyebalkan mengingat kami sedang berusaha memperbaiki saluran air bersama-sama.
Di tengah kondisi yang kacau akibat adu mulut yang timbul.Udin tiba-tiba berteriak minta tolong. Ternyata ia terpeleset gara-gara tidak hati-hati melangkah mundur saat adu mulu terjadi. Dengan cepat, Cecep yang merupakan pemimpin kelompoknya langsung menjulurkan tangan meraih Udin. Malangnya, nasib Cecep tidak sama baik dengan Udin. Mereka berdua juga tergelincir. Anak-anak dari kelompok Cecep lalu membantu menarik tangan mereka.
Begitu juga denganku. Aku bergegas menolong Cecep dan Udin.
“Woi Eki, Tono, Roni! Bantuin dong.” Suaraku terdengar kasar. Tapi itu sebenarnya memperlihatkan amarahku karena mereka berempat hanya diam mematung melihat kami kesulitan.
Keempatnya tak menjawab. Tapi diam yang mereka lakukan, menandakan mereka ogah membantu.
“Tolong kita, Ton. Kasian ini si Cecep sama Udin.” Agus menimpali.
Beruntung saja. Hati mereka luluh. Kemudian membantu menarik kami yang sedang kesusahan. Dengan bantuan tenaga yang lebih besar, Cecep dan Udin akhirnya selamat dan dapat tertolong.
Pakaian mereka terlihat kotor gara-gara beradu dengan permukaan
tanah yang lembab.
“Terima kasih ya, Ton. Makasih juga ya Eki, Roni dan Surya. Aku mau minta maaf kalau aku terlalu egois saat mengambil air. Aku akhirnya sadar, kalau perbuatanku salah. Sekali lagi, terima kasih ya.” Suara Cecep terdengar sangat menyesal.
“Aku dan yang lainnya juga minta maaf soal tadi. Aku juga pengen ngucapin terima kasih ke kalian semua.” Udin juga berkomentar.
Tangan Udin dan Cecep terulur, hendak meminta maaf.
Perlu beberapa detik hingga membuat tangan Tono, Eki, Roni dan Surya meraih tangan mereka. Keadaan sekarang terkendali. Senyum sudah mulai dilontarkan kedua kubu. Tida ada lagi permasalahan seperti tadi.
Setelah semuanya berbaikan. Kami bergotong royong melanjutkan mencari saluran air yang rusak. Beberapa belas menit mendaki ke atas. Kami akhirnya menemukan saluran air tersebut yang ternyata patah dan roboh akibat tertindih pohon yang tumbang. Mungkin gara-gara hujan lebat semalam. Dengan semangat bekerja sama, kami semua memindahkan pohon dan memperbaiki saluran tersebut.
Hanya perlu waktu satu jam untuk menyelsaikan kegiatan tersebut. Begitu kami memasang ujung pipa tersebut ke ujung pipa lainnya. Air sudah mengalir.
Satu Desa Margamulya akhirnya bisa dialiri air ledeng kembali. Semua ini berkat kesepakatan kami menciptakan kerukunan yang tadi sempat hilang. Tanpa itu semua, pekerjaan tadi tentu akan terasa lebih sulit.